Setelah hampir 10 hari di Sumatera Barat berdua saja dengan Kaysan, teman kantor lama saya, Lanny dan Melly, menyusul dari Jakarta. Selang sehari, ayah juga menyusul ke Padang. Kami berlima memang sudah janjian untuk menghabiskan waktu bersama keliling Sumatera Barat dari hari kamis s.d. minggu tanggal 12 s.d.15 April 2007.
Tak lama memang, hanya 4 hari, karena jumlah cuti Lanny dan ayah terbatas. Alhasil, perjalanan dalam waktu singkat mengunjungi cukup banyak kota, Padang – Payakumbuh – Bukittingi – Maninjau, ini bila kami buka paket tur, sepertinya cocok dinamai "Minangkabau Highlight".*
Sekiranya hanya punya waktu singkat dan ingin ajak anak mencicipi cukup banyak Sumatera Barat, mungkin itinerary ini bisa jadi masukan. Ada baiknya, tambahkan kunjungan ke Istana Pagaruyung di Batusangkar.
Muaro Padang
Kami berkeliling dengan kijang keluaran tahun 1990 milik salah seorang etek (aka: tante). Mobil sudah bisa dipakai sejak pagi. Tapi ternyata kami masih harus menunggu keluar tanda pembayaran pajak tahunannya sebelum pergi untuk perjalanan jauh. Akhirnya kami putuskan untuk putar-putar ke Muaro Padang. Melewati Jembatan Siti Nurbaya dan mengarah ke Gunung Padang yang konon ada “kuburan” Siti Nurbaya-nya Marah Rusli.
Teluk Bungus
Sudah puas melihat Muaro dari segala sudut, ternyata urusan mobil masih belum selesai. Kami pun berbelok ke Teluk Bungus untuk makan siang Gulai Kepala Ikannya yang kondang. Teluk Bungus itu sekitar satu jam perjalanan ke arah selatan dari Padang, lewat Teluk Bayur. Berlawanan arah dari niat awal kami ke Bukittinggi dan Payakumbuh yang berada di utara. Tak rugi kami singgah ke Teluk Bungus, karena birunya Samudera Indonesia membuat kami tak sanggup berkata-kata. Sampai Lanny berandai-andai ingin membangun rumah di sini.
Baruh – Tanjung Ipuh
Alhamdulillah selesai juga akhirnya urusan mobil. Langsung kami mengarah ke utara menuju Bukittinggi. Berhubung hari sudah beranjak petang, tujuan kami langsung menuju Koto Kociak, Payakumbuh. Kami bermalam di Rumah Gadang replika-nya Tek Dewi, etek yang juga berbaik hati meminjamkan kami mobil, di Baruh, Tanjung Ipuh.
Kami terperangah saat bangun pagi, sejauh mata memandang dari teras, yang tampak hanya warna hijau di sekeliling rumah. Malam memang telah larut ketika kami sampai, sehingga hanya gelap yang menyambut. Pisang goreng dan ketan, menu sarapan pagi khas urang awak kami santap sambil duduk di teras...luar biasa nikmatnya. Kaysan langsung akrab dengan kenalan baru. Fendi namanya, anak Uni Upik yang merawat rumah.
Pincuran situjuah
Walaupun rumah tempat kami menginap sudah dilengkapi kamar mandi, namun pagi itu kami memutuskan mandi di Pincuran Situjuah, sekitar 500 meter dari rumah. Anak-anak biasa mandi di talaga-nya. Fendi langsung nyebur ke talaga, sementara Kaysan sempat ragu saat melihat warna air yang agak keruh. Tapi akhirnya Kaysan mau juga masuk air setelah dibujuk-bujuk dan ditemani ayah. "Ihhh geli, kaki Kaysan digigit ikan-ikan kecil," seru Kaysan.
Harau yang memukau
Kalau mau main di air terjun berpasir, jernih dan di tengah hutan…dimana lagi kalau bukan di Harau. Harau itu seperti lembah yang dikelilingi tebing batu. Kaysan senanggggggggggg sekali main air. Padahal anginnya menusuk tulang, barangkali karena nabrak tebing jadi mantul lagi anginnya.
Kabarnya di Harau ada tujuh air terjun. Pada kunjungan kemarin Kaysan baru sempat liat tiga. Mesti balik lagi nih kalau Kaysan udah rada besar untuk tracking.
Echo point
Di Harau ada titik yang ditandai sebagai Zero Point. Kalau berdiri di sini dan teriak, maka akan terdengar echo yang sempurna. Kaysan mencoba teriak: “ayah”. Tak berapa lama terdengar gemanya. Kaysan sampai terkaget-kaget, sontak dicoba lagi berulang-ulang, padahal lagi hujan gerimis.
Kuda lumping karet
Di seberang Echo Point ada Echo Homestay yang posisinya nempel di tebing. Jalan masuknya melintas sungai yang ada jembatan goyang dengan jalan kaki . Kami minum lemon hangat di CafĂ©-nya. Tempatnya eksotis banget, bersih dan terawat. Kaysan paling berkesan sama ayunan dari ban yang dimodifikasi seperti kuda lumping….hmmm kreatif sekali.
Catatan Echo Homestay: Masuk Harau, belok ke kiri. Posisinya kira-kira 500 m dari pintu masuk Harau. Total ada 20 kamar di Echo Homestay ini. Setiap bungalow ada yang satu kamar, dua kamar atau empat kamar. Harganya flat, Rp. 300 rb per kamar/hari.
Monyet-monyet di Panorama Ngarai Sianok
Dari Harau, perjalanan lanjut ke arah Bukittinggi. Sampai di Bukittingi sudah malam, jadi kami cari makan lalu langsung istirahat di Pondok Nawawi. Sabtu pagi baru kami muter-muter di Bukittinggi. Kami ke Panorama-nya Ngarai Sianok.
Tapi ternyata Kaysan terkesan bukan sama pemandangan Ngarai Sianok, justru sama monyet-monyet di situ. Jadi Kaysan sibuk ngasih makan monyet-monyet itu. Lihat deh anak-anak monyet sama ibunya ini, mengingatkan posisi nempel favorit Kaysan sama ibu.
Pelangi…pelangi…
Setelah makan siang, kami bergerak menuju Danau Maninjau dari Bukittinggi via jalan yang melintas dasar Ngarai Sianok. Kali ini anggota rombongan berkurang satu. Lanny langsung ke Bandara dari Bukittinggi untuk balik ke Jakarta.
Setelah sampai di Danau Maninjau lewat jalan kelok 44, ami bingung mau milih nginap dimana. Akhirnya kami sampai satu lap di Danau Maninjau yang kelilingnya sekitar 70 km-an itu di tengah cuaca yang rada gerimis. Pas lagi keliling ini ternyata muncul Pelangi. Wuih…Kaysan girang bukan kepalang….komentarnya: “Pelangi bagus banget ya ibu”.
Kelelawar raksasa
Selain Pelangi, Kaysan juga senang banget pas menjelang magrib banyak muncul kelelawar. Beda dengan kelelawar yang pernah kami lihat di Jawa, di Danau Maninjau ini kelelawarnya besar sekali, katanya memang spesies yang khas daerah tersebut.
Pinggiran danau
Ternyata hasil ngobrol-ngobrol sama penduduk lokal, pilihan akomodasi di Danau Maninjau hanya dua jenis yaitu: bisa diakses mobil tapi tepian danau langsung terjal atau harus lewat pematang sawah tapi pinggirannya rada berpantai.
Berhubung sudah gelap dan “supir” udah lelah, akhirnya kami pilih Hotel Tan Dirih yang bisa diakses mobil. Hotelnya relatif murah tapi bersih banget layaknya hotel berbintang. Cocok sekali untuk istirahat. Wangi handuk dan sprei-nya bener-bener ngangenin kalau kata Melly.
Paginya pas matahari terbit, lagi-lagi kami terpesona dengan pemandangan pagi. Ternyata posisi hotel kami benar-benar di bibir danau.
Catatan Hotel Tan Dirih: Setelah turun lewat kelok 44, di persimpangan belok ke kanan yang ke arah Bayur. Posisinya sekitar 1 km dari persimpangan Kelok 44 itu, di sebelah kiri jalan. Ada 9 kamar, harganya Rp. 120 rb/hari.
Pantai “rahasia”
Pukul 12:00 siang kami check-out hotel, bergerak menuju Padang via Lubuk Basung, Tiku, Pariaman. Jadi kami nggak lewat Kelok 44 lagi. Tapi sebelum meninggalkan Maninjau, berhubung masih penasaran mau lihat pantai berpasir di Danau Maninjau, akhirnya kami mutusin mau lihat penginapan Rizal Beach. Menurut Lonely Planet, Hotel ini punya pantai ini yang paling bagus di seantero Danau Maninjau.
Petunjuk menuju Rizal Beach hanya sepotong papan yang menunjuk ke arah pemantang sawah. Iseng kami ikutin deh nyusurin pematang sawah. Ternyata oh ternyata…nggak nyesel deh mesti jalan 200 m-an. Asli pantainya bener-bener bagus, cuma penginapannya udah berhenti operasi. Jadi yang kami lihat adalah pantai bagus dengan reruntuhan bungalow, terbayang persis pantai rahasia di buku cerita petualang Enyd Blyton. Kaysan langsung main air sambil ngumpulin pensi (sejenis ciput khas Danau Maninjau). Kalau nggak di stop, bisa lupa kalau ayahnya nungguin di mobil.
kayaknya bisa nerbitin buku saingan lonely planet nich...:D
BalasHapusnanti aku ikut juga yaaa.... bagus banget ya tempat2nyaaa.....
BalasHapushmmm....lonely planet dari sudut pandang anak2 kali ya :-)
BalasHapusTi.. jadi pengen mudik huihuhuhuhuhu
BalasHapusyuk mudik..yuk...!
BalasHapus