Nyaris sebulan penuh kami habiskan di Sumatera Barat, mulai dari tanggal 3 April s.d. 1 Mei 2007. Thanks to Air Asia yang promo Jakarta-Padang 186 ribu pp per orang.
Pilihan ke Sumatera Barat bukan tanpa alasan khusus. Sebagai asli keturunan urang awak, masih banyak keluarga besar saya yang tinggal di sana. Berlibur ke kampung halaman sendiri sekaligus silaturahmi setidaknya menghemat biaya akomodasi, karena sanak keluarga pastinya dengan gembira menyambut kami bermalam.
Pilihan ke Sumatera Barat bukan tanpa alasan khusus. Sebagai asli keturunan urang awak, masih banyak keluarga besar saya yang tinggal di sana. Berlibur ke kampung halaman sendiri sekaligus silaturahmi setidaknya menghemat biaya akomodasi, karena sanak keluarga pastinya dengan gembira menyambut kami bermalam.
Sekolah Alam Minangkabau
Sekitar dua minggu kami tinggal di Padang, bersama keluarga kembaran alm. ayah saya. Miya, anak beliau satu-satunya sedang merintis Sekolah Alam Minangkabau (SAM) dan sejak di Jakarta, saya sudah mohonkan ijin bagi Kaysan untuk bergabung sebagai murid tamu di sekolah tsb. Gita, anak semata wayang dari Miya dalam waktu singkat menjadi akrab dengan Kaysan.
Petualangan ala Bolang di Koto Kociak
Di akhir pekan, 6-8 April 2007, menumpang mobil seorang saudara kami ikut pulang kampung ke Koto Kociak (sekitar 20 km dari Kota Payakumbuh) di Kab. Limapuluh Koto. Di tempat ini alm. ayah saya dilahirkan dan dibesarkan. Di tempat ini pula Kaysan beruntung bisa merasakan langsung kehidupan di desa yang saya tulis sendiri dalam posting Petualangan ala Bolang di Koto Kociak.
Minangkabau Highlight
Setelah hampir 10 hari di Sumatera Barat, ada Lanny, Melly, dan juga ayah Adi datang bergabung dari Jakarta. "Mumpung ada yang orang lokal," ujar Lanny yang asli Betawi ketika memutuskan menyusul kami. Kami berlima mengunjungi Teluk Bungus, Payakumbuh, dan Bukittinggi dengan mobil kijang pinjaman dari seorang etek.
Tanpa Lanny yang harus kembali ke Jakarta lebih awal, kami melanjutkan perjalanan ke Danau Maninjau. Lalu kembali ke Padang menyusuri pesisir barat, melewati Lubung Basung, Tiku, dan Pariaman. Perjalanan ala paket wisata selama 4 hari (12-15 April 2007) ini saya tulis posting terpisah dalam Minangkabau Highlight.
Di kaki Gunung Merapi
Adi berpisah dengan kami sesampainya di Padang. Sementara Melly yang urang awak tetap tinggal di Sumatera Barat sampai akhir bulan. Kaysan dan saya sempat pula ikut menyusul Melly yang tengah menengok kampungnya di Desa Batu Palano, Sungai Puar, Kab. Agam.
Berdua dengan Kaysan, kami naik travel Padang-Bukittingi menuju desa ini terletak sekitar 10 km sebelum masuk kota Bukittinggi dari arah Padang via Lembah Anai. Dampak gempa yang baru terjadi sebulan sebelum kedatangan kami (06/03/07), tampak jelas di desa ini.
Kami tinggal selama 3 malam (26-29 April 2007) di desa yang berlokasi di kaki Gunung Merapi dan penghasil sayur-sayuran ini. Di kanan kiri jalan tampak para perempuan sedang mencuci wortel hasil panen. Kaysan sempat ikut membantu panen tomat di salah satu ladang milik saudara Melly.
Kaysan menemukan sobat baru, Ari namanya. Seorang anak asli Batu Palano yang kurang lebih sebaya dengannya. Rumah Ari pun tak luput dari dampak gempa. Namun keceriaan tak hilang dari raut mukanya. Menarik mengamati dua bocah yang berbeda bahasa, tapi tampak asyik bermain bersama.
Ternyata bahasa sama sekali tak menjadi kendala bagi anak-anak. Mereka bermain mobil balap di atas gundukan pasir, tepat di depan rumah tempat kami menginap. Dalam waktu singkat Kaysan pun sudah menguasai cara berhitung dalam bahasa minang.
Bukittinggi dan Bonjol
Selama bermalam di Batu Palano, bersama Melly kami sempat mengunjungi Bukittinggi dua kali naik angkot jurusan Koto Baru - Bukittinggi. Pada kunjungan yang pertama kami menelusuri jalan kota hingga sampai di Kebun Binatang.
Dari Kebun Binatang kami menyeberangi Jembatan Limpapeh dan masuk ke Benteng Fort de Kock. Kami menghabiskan waktu cukup lama di benteng menunggu Kaysan yang asyik bermain dengan meriam yang ada di sana. Setelah puas bermain di benteng, kami bergerak menuju Jam Gadang.
Sepanjang sore kami hanya duduk di bangku taman dan asyik memperhatikan kesibukan warga kota di Jam Gadang sambil menikmati pisang goreng di alas daun. Sementara Kaysan tampak sibuk dan asyik bermain gelembung sabun. Setelah matahari semakin turun, kami pun segera mencari angkot untuk kembali ke Batu Palano.
Kami sempat menggunakan Peta Hijau Bukittinggi, sekaligus ingin menjajalnya ketika berjalan. Tapi akhirnya bingung sendiri dengan format peta yang menggunakan foto satelit sebagai peta dasar. Sehingga kembali kami berpegang pada Indonesian Travel Atlas keluaran Periplus.
Kali kedua ke Bukittinggi, tujuan kami mencari gulo-gulo tare, permen khas Bukittinggi, di Pasar Ateh. Permen ini dibuat dari sari tebu yang dimasak hingga jadi karamel. Permen berbentuk segiempat kecil dan berwarna coklat ini dibalut dengan tepung beras sangrai. Rasanya bikin ketagihan.
Setelah berhasil menemukan ibu penjual permen, kami sempat kehabisan ide mau melakukan apalagi untuk menghabiskan sisa hari. Mendadak terbersit ide untuk mengunjungi Bonjol, kota sekitar 60 km utara dari Bukittinggi, yang tepat di garis ekuator. Kisah perjalanan spontan bin nekat ke Bonjol, yang sempet bikin perasaan ketar-ketir ini bisa dibaca di blognya Melly.
Sungai Bangek dan pelelangan ikan
Kaysan menemukan dua pengalaman tak terlupakan di kota Padang. Pertama adalah kunjungan ke sentra pembenihan dan budidaya ikan air tawar di Sungai Bangek yang letaknya sekitar 15 km dari pusat kota Padang. Kedua adalah pengalaman menyaksikan para nelayan di Pantai Padang kembali dari laut dan melelang hasil tangkapannya.
Jadwal perjalanan
Petualangan ala Bolang di Koto Kociak
Di akhir pekan, 6-8 April 2007, menumpang mobil seorang saudara kami ikut pulang kampung ke Koto Kociak (sekitar 20 km dari Kota Payakumbuh) di Kab. Limapuluh Koto. Di tempat ini alm. ayah saya dilahirkan dan dibesarkan. Di tempat ini pula Kaysan beruntung bisa merasakan langsung kehidupan di desa yang saya tulis sendiri dalam posting Petualangan ala Bolang di Koto Kociak.
Minangkabau Highlight
Setelah hampir 10 hari di Sumatera Barat, ada Lanny, Melly, dan juga ayah Adi datang bergabung dari Jakarta. "Mumpung ada yang orang lokal," ujar Lanny yang asli Betawi ketika memutuskan menyusul kami. Kami berlima mengunjungi Teluk Bungus, Payakumbuh, dan Bukittinggi dengan mobil kijang pinjaman dari seorang etek.
Tanpa Lanny yang harus kembali ke Jakarta lebih awal, kami melanjutkan perjalanan ke Danau Maninjau. Lalu kembali ke Padang menyusuri pesisir barat, melewati Lubung Basung, Tiku, dan Pariaman. Perjalanan ala paket wisata selama 4 hari (12-15 April 2007) ini saya tulis posting terpisah dalam Minangkabau Highlight.
Di kaki Gunung Merapi
Adi berpisah dengan kami sesampainya di Padang. Sementara Melly yang urang awak tetap tinggal di Sumatera Barat sampai akhir bulan. Kaysan dan saya sempat pula ikut menyusul Melly yang tengah menengok kampungnya di Desa Batu Palano, Sungai Puar, Kab. Agam.
Berdua dengan Kaysan, kami naik travel Padang-Bukittingi menuju desa ini terletak sekitar 10 km sebelum masuk kota Bukittinggi dari arah Padang via Lembah Anai. Dampak gempa yang baru terjadi sebulan sebelum kedatangan kami (06/03/07), tampak jelas di desa ini.
Kami tinggal selama 3 malam (26-29 April 2007) di desa yang berlokasi di kaki Gunung Merapi dan penghasil sayur-sayuran ini. Di kanan kiri jalan tampak para perempuan sedang mencuci wortel hasil panen. Kaysan sempat ikut membantu panen tomat di salah satu ladang milik saudara Melly.
Kaysan menemukan sobat baru, Ari namanya. Seorang anak asli Batu Palano yang kurang lebih sebaya dengannya. Rumah Ari pun tak luput dari dampak gempa. Namun keceriaan tak hilang dari raut mukanya. Menarik mengamati dua bocah yang berbeda bahasa, tapi tampak asyik bermain bersama.
Ternyata bahasa sama sekali tak menjadi kendala bagi anak-anak. Mereka bermain mobil balap di atas gundukan pasir, tepat di depan rumah tempat kami menginap. Dalam waktu singkat Kaysan pun sudah menguasai cara berhitung dalam bahasa minang.
Bukittinggi dan Bonjol
Selama bermalam di Batu Palano, bersama Melly kami sempat mengunjungi Bukittinggi dua kali naik angkot jurusan Koto Baru - Bukittinggi. Pada kunjungan yang pertama kami menelusuri jalan kota hingga sampai di Kebun Binatang.
Dari Kebun Binatang kami menyeberangi Jembatan Limpapeh dan masuk ke Benteng Fort de Kock. Kami menghabiskan waktu cukup lama di benteng menunggu Kaysan yang asyik bermain dengan meriam yang ada di sana. Setelah puas bermain di benteng, kami bergerak menuju Jam Gadang.
Sepanjang sore kami hanya duduk di bangku taman dan asyik memperhatikan kesibukan warga kota di Jam Gadang sambil menikmati pisang goreng di alas daun. Sementara Kaysan tampak sibuk dan asyik bermain gelembung sabun. Setelah matahari semakin turun, kami pun segera mencari angkot untuk kembali ke Batu Palano.
Kami sempat menggunakan Peta Hijau Bukittinggi, sekaligus ingin menjajalnya ketika berjalan. Tapi akhirnya bingung sendiri dengan format peta yang menggunakan foto satelit sebagai peta dasar. Sehingga kembali kami berpegang pada Indonesian Travel Atlas keluaran Periplus.
Kali kedua ke Bukittinggi, tujuan kami mencari gulo-gulo tare, permen khas Bukittinggi, di Pasar Ateh. Permen ini dibuat dari sari tebu yang dimasak hingga jadi karamel. Permen berbentuk segiempat kecil dan berwarna coklat ini dibalut dengan tepung beras sangrai. Rasanya bikin ketagihan.
Setelah berhasil menemukan ibu penjual permen, kami sempat kehabisan ide mau melakukan apalagi untuk menghabiskan sisa hari. Mendadak terbersit ide untuk mengunjungi Bonjol, kota sekitar 60 km utara dari Bukittinggi, yang tepat di garis ekuator. Kisah perjalanan spontan bin nekat ke Bonjol, yang sempet bikin perasaan ketar-ketir ini bisa dibaca di blognya Melly.
Sungai Bangek dan pelelangan ikan
Kaysan menemukan dua pengalaman tak terlupakan di kota Padang. Pertama adalah kunjungan ke sentra pembenihan dan budidaya ikan air tawar di Sungai Bangek yang letaknya sekitar 15 km dari pusat kota Padang. Kedua adalah pengalaman menyaksikan para nelayan di Pantai Padang kembali dari laut dan melelang hasil tangkapannya.
Jadwal perjalanan
Berikut ringkasan jadwal perjalanan kami selama nyaris sebulan di Sumatera Barat
03 - 06 Padang
06 - 08 Koto Kociak (20 km dari Payakumbuh), Kab. Limapuluh Koto
09 - 11 Padang
12 Padang – Teluk Bungus – Payakumbuh – Koto Kociak
13 Koto Kociak – Payakumbuh – Harau – Bukittinggi
14 Bukittinggi – Maninjau
15 Maninjau – Lubuk Basung – Pariaman –Padang
16 – 25Padang
22 Sungai Bangek (20 km dari Pusat Kota Padang)
26 – 29 Batu Palano (10 km sebelum Bukittinggi), Kab Agam
28 Bonjol (60 km utara Bukittinggi)
30 Sungai Bangek lagi
1 Mei Pulang ke Jakarta
06 - 08 Koto Kociak (20 km dari Payakumbuh), Kab. Limapuluh Koto
09 - 11 Padang
12
13 Koto Kociak – Payakumbuh – Harau – Bukittinggi
14 Bukittinggi – Maninjau
15 Maninjau – Lubuk Basung – Pariaman –
16 – 25
22 Sungai Bangek (20 km dari Pusat Kota Padang)
26 – 29 Batu Palano (10 km sebelum Bukittinggi), Kab Agam
28 Bonjol (60 km utara Bukittinggi)
30 Sungai Bangek lagi
1 Mei Pulang ke Jakarta
9-11 ada dimana? :D pakai peta ajahhh biar gampang ngertinya... :)) (ngerepotin banget ya gue :D)
BalasHapusihhh kaysan makin tinggi ... tp senyumnya tetep sama .. tetep menggoda hehehhehe
BalasHapusThank u olive, merhatiin aja ada yg kelewat :-). 9-11 kita balik ke Padang lagi, nunggu anggota tim lengkap (Neng, Mel, Adi) untuk perjalananan tgl 12-15. Petanya nyusul ya, mesti scan dulu, nggak dapat yang bagus dari google.
BalasHapusThank u boss, merhatiin aja ada yg kelewat :-). 9-11 kita balik ke Padang lagi, nunggu anggota tim lengkap (Neng, Mel, Adi) untuk perjalananan tgl 12-15. Petanya nyusul ya, mesti scan dulu, nggak dapat yang bagus dari google.
BalasHapusThank u olive, merhatiin aja ada yg kelewat :-). 9-11 kita balik ke Padang lagi, nunggu anggota tim lengkap (Neng, Mel, Adi) untuk perjalananan tgl 12-15. Petanya nyusul ya, mesti scan dulu, nggak dapat yang bagus dari google.
BalasHapus