Setiap
tahunnya mulai bulan September hingga November, ada puluhan ribu
raptor atau burung pemangsa dari Asia Timur yang rutin bermigrasi ke
Asia Tenggara untuk menghindari musim dingin di daerah berbiaknya.
Indonesia adalah salah satu daerah lintasan, daerah singgah, bahkan
tujuan akhir migrasi tsb (lihat peta). Menurut Raptor
Indonesia (RAIN) yang rutin mengamati sejak tahun 1999, kerusakan hutan
di Indonesia, termasuk kebakaran hutan, mengganggu migrasi tsb dan
juga menyebabkan berkurangnya raptor yang bermigrasi ke Indonesia.
Rute migrasi raptor di Asia Tenggara (Foto: Raptor Indonesia) |
Setelah Kaysan mengikuti Seminar Elang
di UNJ (18/10/14), akhirnya saya menguatkan niat untuk menemaninya ikut kegiatan
raptor count. Sebenarnya sudah sejak lama penasaran ingin
menyaksikan fenomena alam tahunan ini, tapi membayangkan kepadatan
lalu lintas kawasan Puncak di akhir pekan membuat kami terus
menundanya. Kalau nekad datang di hari kerja, jumlah burung yang
melintas mungkin tak ada bedanya dibanding akhir pekan, tapi tidak
ada relawan pengamat burung tempat bertanya bagi kami yang awam ini :-D
Naik angkutan umum ke Bukit Paralayang
Minggu (26/10/14) lalu kami berangkat
menuju Bukit Paralayang yang berlokasi di belakang Mesjid At Ta'awun,
Puncak, dengan dengan angkutan umum. Kami memilih PO Marita jurusan
Kampung Rambutan-Cianjur, mengikuti rekomendasi seorang kerabat.
Ketika kami tiba di Kampung Rambutan, terlihat sebuah bis PO Marita sudah
berada di mulut keluar terminal. Sambil berjalan cepat kami buru-buru
naik, tapi bis ukuran ¾ ini ternyata baru terisi sepertiganya.
Bis berjalan lambat keluar terminal
menuju sambil terus menaikkan penumpang. Sekitar 15 menit kemudian
bis terisi penuh, bahkan ada beberapa yang berdiri. Tepat pukul 5.45
WIB bis sudah melaju di jalan tol Jagorawi. Bis sempat transit sebentar di
Cibinong, lalu keluar tol di Ciawi dan berbelok ke kiri menuju jalan
raya Puncak.
Syukurlah lalu lintas di minggu pagi
tidak terlalu padat. Walaupun lalu lintas sempat beberapa kali
tersendat, tapi sekitar pukul 7.30 bis sudah mulai memasuki kawasan
kebun teh. Sekalipun sudah berpesan pada supir dan kondektur bis
untuk berhenti di tempat paralayang dekat Mesjid At Ta'awun, kami
mulai pasang mata.
Mesjid At Ta'awun yang bewarna putih
bersih dan berarsitektur unik ini rasanya sulit luput dari
penglihatan. Begitu melihat mesjid tsb, karena segera bersiap-siap
turun karena jalan masuk menuju Bukit Paralayang berada sekitar 500 m
setelah Mesjid At Ta'awun, di sisi kanan jalan. Sempat terjadi
sedikit kebingungan dengan supir bis karena istilah yang lebih
dikenal awam ternyata tempat parasut, bukan bukit paralayang. Jadi
lain kali bilangnya minta berhenti di tempat parasut aja ya :-)
Mesjid At Ta'awun (Foto: simbi.kemenag.go.id) |
Lokasi Bukit Paralayang = Venues Paragliding MES |
Setelah turun bis, kami menyeberangi
jalan raya Puncak dan sampai ke loket masuk Bukit Paralayang. Sesuai
namanya, Bukit Paralayang adalah tempat wisata olahraga paralayang.
Di tempat itu wisawatan bila mencoba untuk terbang tandem dengan
instruktur terlatih. Untuk masuk Bukit Paralayang dikenakan retribusi
sebesar dewasa Rp. 8.000 dan anak Rp. 4.000. Dari loket masuk kami berjalan kaki
santai sekitar 700 m hingga mencapai puncak Bukit Paralayang,
tempat penghitungan raptor dilakukan.
Bukit Paralayang dan pengamatan
Seketika kami terpesona dengan panorama dari puncak bukit. Mata bisa memandang lepas ke segala arah. Hamparan pohon
teh di depan mata dilingkupi hutan tropis di tepiannya. Tampak di
kejauhan rumah, bangunan, dan gedung. Awalnya saya pikir tempat ini hanya didatangi pecinta olahraga paralayang atau pengunjung yang tertarik
mencoba. Di luar dugaan ternyata di akhir pekan tempat ini
juga dipenuhi pengunjung umum yang sekedar datang untuk menikmati pemandangan dan berfoto.
Di sisi kiri kami segera menemukan para
pengamat burung yang sedang melakukan penghitungan. Sambil menikmati
sarapan, Kaysan, segera bergabung dengan sekitar 15 orang mahasiswa
pengamat dari UNJ, IPB, dan UIN. Begitu rampung sarapan, langsung ia
sibuk dengan binokular pinjaman dan belajar cara mengenali
jenis elang yang melintas. Ada tiga jenis elang yang ia jumpai
hari ini yaitu elang-alap
cina (Accipiter soloensis), elang-alap jepang (Accipiter
gularis), dan sikep
madu asia (Pernis ptilorhyncus).
Siibuk mengamati |
Belajar dengan Kak Riri |
Ukuran
sikep madu asia yang besar memudahkan Kaysan membedakannya dari dua
jenis elang lainnya. Ia masih kesulitan membedakan antara elang-alap
cina dan elang-alap jepang yang ukuran dan warnanya hampir mirip. Setelah 3 jam mengamati, ada sekitar 100
individu elang yang melintas menurut penghitungannya. Sementara Kak
Rahmat, penanggung jawab pengamatan hari tsb, mencatat ada lebih
dari 500 individu melintas antara pukul 06.30 - 11:30 WIB.
Sambil
mengamati burung pemangsa, untuk pertama kalinya bagi Kaysan
menyaksikan serunya olahraga paralayang. Kaysan sempat penasaran
ingin mencoba dan bertanya syaratnya ke meja pendaftaran. Ternyata
ada batas minimal peserta yaitu berat 45 kg. Akhirnya ia memilih
bermain flying fox
untuk menghibur diri.
Minat
masyarakat umum
Selama
menunggu Kaysan, saya perhatikan cukup banyak pengunjung umum
tampaknya penasaran dengan apa yang sedang teman-teman penghitung raptor lakukan. Apalagi kelompok penghitung
ini seringkali heboh ketika elang dalam jumlah besar tampak melintas,
semua sibuk menunjuk arah datangnya rombongan. Dari sekian banyak yang
tampaknya penasaran tsb, ada dua rombongan yang bertanya secara
langsung kepada saya, termasuk anak-anak.
Animo
mereka sangat tinggi mendengarkan penjelasan saya yang ala kadarnya.
Menurut Kak Rahmat pernah ada memang semacam pameran tentang raptor,
serta juga pemandu bagi umum di musim migrasi yang lalu. Kalau
memang demikian, program tsb baik untuk dilanjutkan. Setidaknya
barangkali dengan memasang semacam papan informasi permanen tentang
migrasi raptor di puncak Bukit Paralayang yang bisa dibaca sendiri oleh pengunjung (atau sudah ada ya, tapi
saya tidak melihat).
Terbayang,
bila pengunjung yang sempat menyaksikan langsung fenomena alam ini
paham, kemungkinan besar secara individu mereka akan merasa terhubung
dengan raptor ini dan 'terganggu' dengan rusaknya hutan Indonesia.
Semoga saja lebih jauh, juga bisa mendorong individu menekan konsumsi
produk pengancam konservasi hutan, seperti kertas dan turunan sawit.
Perjalanan
pulang
Sekitar
pukul 11:30 WIB rombongan pengamat yang terakhir menuntaskan pengamatan
karena cuaca mulai mendung. Rampung makan siang bersama di salah satu warung
di Bukit Paralayang, kami pun turun bersama Kak Rahmat, Kak Riri, dan
Kak Adi memotong kebun teh menuju Mesjid At Ta'awun. Lalu lintas arah turun
dari Puncak masih ditutup, tapi ketika melihat bis PO Marita yang
tepat berada di depan mesjid, kami semua memutuskan naik. Sebenarnya
hanya ada satu bangku kosong, tapi tetap kenek bersikeras bis itu
kosong dengan menunjuk sudut-sudut bis yang bisa diduduki. Khawatir
makin sulit menemukan bis kosong, kami pun pasrah.
Kami
menunggu sampai 1,5 jam hingga akhirnya lalu lintas arah turun dibuka pada
pukul 14.30 WIB. Setelah itu lalu lintas juga masih sering tersendat
karena keluar masuk kendaraan. Sewaktu sampai di Ciawi sekitar pukul
16:00 WIB, saya mengajak Kaysan pindah ke ATPB jurusan Ciawi-Senen agar lebih mudah menyambung bis Transjakarta ke rumah.
Menunggu jalan turun dibuka bersama Kak Rahmat |
Setengah
berlari diguyur hujan kami menuju ATPB dan sampai di dalam lagi-lagi semua kursi sudah terisi.
Terpaksa kami kembali duduk melantai bersama beberapa penumpang lain.
Sepertinya angkutan umum luar kota di akhir pekan memang tinggi
peminatnya. Sekitar pukul 17:30 WIB kami transit di Kampung Melayu,
berganti ke bis Transjakarta menuju rumah. Syukur alhamdulillah sekitar
pukul 18:45 WIB kami sudah kembali berada di rumah.
Catatan:
Ongkos bis PO Marita Kp. Rambutan - Mesjid At Ta'awun Rp. 20.000,-
Ongkos bis ATPB Ciawi - Senen Rp. 14.000,-
Referensi:
Indonesia tujuan akhir migrasi ribuan raptor Asia (Mongabay.co.id - 18 Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar