Senin, 27 Oktober 2014

Migrasi Raptor 2014 di Bukit Paralayang, Puncak

Sikep madu asia itu gagah ya bu, Kaysan pikir hanya sebesar burung madu sriganti”, ujar anak semata wayang kami usai mengikuti kegiatan raptor count (penghitungan burung pemangsa) di Bukit Paralayang, Puncak (26/10/14). Penampakan burung pemangsa sikep madu asia (Pernis ptilorhyncus) dengan panjang sekitar 60 meter dan bentang sayap hingga 1,5 m, memang jauh berbeda daripada burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) yang banyak dijumpai di taman dan hutan kota Jakarta. Burung pemakan nektar tsb ukurannya hanya sekitar 10 cm.

Setiap tahunnya mulai bulan September hingga November, ada puluhan ribu raptor atau burung pemangsa dari Asia Timur yang rutin bermigrasi ke Asia Tenggara untuk menghindari musim dingin di daerah berbiaknya. Indonesia adalah salah satu daerah lintasan, daerah singgah, bahkan tujuan akhir migrasi tsb (lihat peta). Menurut Raptor Indonesia (RAIN) yang rutin mengamati sejak tahun 1999, kerusakan hutan di Indonesia, termasuk kebakaran hutan, mengganggu migrasi tsb dan juga menyebabkan berkurangnya raptor yang bermigrasi ke Indonesia. 

Rute migrasi raptor di Asia Tenggara (Foto: Raptor Indonesia)
Setelah Kaysan mengikuti Seminar Elang di UNJ (18/10/14), akhirnya saya menguatkan niat untuk menemaninya ikut kegiatan raptor count. Sebenarnya sudah sejak lama penasaran ingin menyaksikan fenomena alam tahunan ini, tapi membayangkan kepadatan lalu lintas kawasan Puncak di akhir pekan membuat kami terus menundanya. Kalau nekad datang di hari kerja, jumlah burung yang melintas mungkin tak ada bedanya dibanding akhir pekan, tapi tidak ada relawan pengamat burung tempat bertanya bagi kami yang awam ini :-D

Naik angkutan umum ke Bukit Paralayang

Minggu (26/10/14) lalu kami berangkat menuju Bukit Paralayang yang berlokasi di belakang Mesjid At Ta'awun, Puncak, dengan dengan angkutan umum. Kami memilih PO Marita jurusan Kampung Rambutan-Cianjur, mengikuti rekomendasi seorang kerabat. Ketika kami tiba di Kampung Rambutan, terlihat sebuah bis PO Marita sudah berada di mulut keluar terminal. Sambil berjalan cepat kami buru-buru naik, tapi bis ukuran ¾ ini ternyata baru terisi sepertiganya.

Bis berjalan lambat keluar terminal menuju sambil terus menaikkan penumpang. Sekitar 15 menit kemudian bis terisi penuh, bahkan ada beberapa yang berdiri. Tepat pukul 5.45 WIB bis sudah melaju di jalan tol Jagorawi. Bis sempat transit sebentar di Cibinong, lalu keluar tol di Ciawi dan berbelok ke kiri menuju jalan raya Puncak.

Syukurlah lalu lintas di minggu pagi tidak terlalu padat. Walaupun lalu lintas sempat beberapa kali tersendat, tapi sekitar pukul 7.30 bis sudah mulai memasuki kawasan kebun teh. Sekalipun sudah berpesan pada supir dan kondektur bis untuk berhenti di tempat paralayang dekat Mesjid At Ta'awun, kami mulai pasang mata.

Mesjid At Ta'awun yang bewarna putih bersih dan berarsitektur unik ini rasanya sulit luput dari penglihatan. Begitu melihat mesjid tsb, karena segera bersiap-siap turun karena jalan masuk menuju Bukit Paralayang berada sekitar 500 m setelah Mesjid At Ta'awun, di sisi kanan jalan. Sempat terjadi sedikit kebingungan dengan supir bis karena istilah yang lebih dikenal awam ternyata tempat parasut, bukan bukit paralayang. Jadi lain kali bilangnya minta berhenti di tempat parasut aja ya :-) 

Mesjid At Ta'awun (Foto: simbi.kemenag.go.id)
Lokasi Bukit Paralayang = Venues Paragliding MES

Setelah turun bis, kami menyeberangi jalan raya Puncak dan sampai ke loket masuk Bukit Paralayang. Sesuai namanya, Bukit Paralayang adalah tempat wisata olahraga paralayang. Di tempat itu wisawatan bila mencoba untuk terbang tandem dengan instruktur terlatih. Untuk masuk Bukit Paralayang dikenakan retribusi sebesar dewasa Rp. 8.000 dan anak Rp. 4.000. Dari loket masuk kami berjalan kaki santai sekitar 700 m  hingga mencapai puncak Bukit Paralayang, tempat penghitungan raptor dilakukan.

Bukit Paralayang dan pengamatan

Seketika kami terpesona dengan panorama dari puncak bukit. Mata bisa memandang lepas ke segala arah. Hamparan pohon teh di depan mata dilingkupi hutan tropis di tepiannya. Tampak di kejauhan rumah, bangunan, dan gedung. Awalnya saya pikir tempat ini hanya didatangi pecinta olahraga paralayang atau pengunjung yang tertarik mencoba. Di luar dugaan ternyata di akhir pekan tempat ini juga dipenuhi pengunjung umum yang sekedar datang untuk menikmati pemandangan dan berfoto.

Di sisi kiri kami segera menemukan para pengamat burung yang sedang melakukan penghitungan. Sambil menikmati sarapan, Kaysan, segera bergabung dengan sekitar 15 orang mahasiswa pengamat dari UNJ, IPB, dan UIN. Begitu rampung sarapan, langsung ia sibuk dengan binokular pinjaman dan belajar cara mengenali jenis elang yang melintas. Ada tiga jenis elang yang ia jumpai hari ini yaitu elang-alap cina (Accipiter soloensis), elang-alap jepang (Accipiter gularis), dan sikep madu asia (Pernis ptilorhyncus). 

Siibuk mengamati
 
Belajar dengan Kak Riri
Ukuran sikep madu asia yang besar memudahkan Kaysan membedakannya dari dua jenis elang lainnya. Ia masih kesulitan membedakan antara elang-alap cina dan elang-alap jepang yang ukuran dan warnanya hampir mirip. Setelah 3 jam mengamati, ada sekitar 100 individu elang yang melintas menurut penghitungannya. Sementara Kak Rahmat, penanggung jawab pengamatan hari tsb, mencatat ada lebih dari 500 individu melintas antara pukul 06.30 - 11:30 WIB.

Sambil mengamati burung pemangsa, untuk pertama kalinya bagi Kaysan menyaksikan serunya olahraga paralayang. Kaysan sempat penasaran ingin mencoba dan bertanya syaratnya ke meja pendaftaran. Ternyata ada batas minimal peserta yaitu berat 45 kg. Akhirnya ia memilih bermain flying fox untuk menghibur diri.

Minat masyarakat umum

Selama menunggu Kaysan, saya perhatikan cukup banyak pengunjung umum tampaknya penasaran dengan apa yang sedang teman-teman penghitung raptor lakukan. Apalagi kelompok penghitung ini seringkali heboh ketika elang dalam jumlah besar tampak melintas, semua sibuk menunjuk arah datangnya rombongan. Dari sekian banyak yang tampaknya penasaran tsb, ada dua rombongan yang bertanya secara langsung kepada saya, termasuk anak-anak.

Animo mereka sangat tinggi mendengarkan penjelasan saya yang ala kadarnya. Menurut Kak Rahmat pernah ada memang semacam pameran tentang raptor, serta juga pemandu bagi umum di musim migrasi yang lalu. Kalau memang demikian, program tsb baik untuk dilanjutkan. Setidaknya barangkali dengan memasang semacam papan informasi permanen tentang migrasi raptor di puncak Bukit Paralayang yang bisa dibaca sendiri oleh pengunjung (atau sudah ada ya, tapi saya tidak melihat).

Terbayang, bila pengunjung yang sempat menyaksikan langsung fenomena alam ini paham, kemungkinan besar secara individu mereka akan merasa terhubung dengan raptor ini dan 'terganggu' dengan rusaknya hutan Indonesia. Semoga saja lebih jauh, juga bisa mendorong individu menekan konsumsi produk pengancam konservasi hutan, seperti kertas dan turunan sawit.

Perjalanan pulang

Sekitar pukul 11:30 WIB rombongan pengamat yang terakhir menuntaskan pengamatan karena cuaca mulai mendung. Rampung makan siang bersama di salah satu warung di Bukit Paralayang, kami pun turun bersama Kak Rahmat, Kak Riri, dan Kak Adi memotong kebun teh menuju Mesjid At Ta'awun. Lalu lintas arah turun dari Puncak masih ditutup, tapi ketika melihat bis PO Marita yang tepat berada di depan mesjid, kami semua memutuskan naik. Sebenarnya hanya ada satu bangku kosong, tapi tetap kenek bersikeras bis itu kosong dengan menunjuk sudut-sudut bis yang bisa diduduki. Khawatir makin sulit menemukan bis kosong, kami pun pasrah.


Kami menunggu sampai 1,5 jam hingga akhirnya lalu lintas arah turun dibuka pada pukul 14.30 WIB. Setelah itu lalu lintas juga masih sering tersendat karena keluar masuk kendaraan. Sewaktu sampai di Ciawi sekitar pukul 16:00 WIB, saya mengajak Kaysan pindah ke ATPB jurusan Ciawi-Senen agar lebih mudah menyambung bis Transjakarta ke rumah.
Menunggu jalan turun dibuka bersama Kak Rahmat
Setengah berlari diguyur hujan kami menuju ATPB dan sampai di dalam lagi-lagi semua kursi sudah terisi. Terpaksa kami kembali duduk melantai bersama beberapa penumpang lain. Sepertinya angkutan umum luar kota di akhir pekan memang tinggi peminatnya. Sekitar pukul 17:30 WIB kami transit di Kampung Melayu, berganti ke bis Transjakarta menuju rumah. Syukur alhamdulillah sekitar pukul 18:45 WIB kami sudah kembali berada di rumah.

Catatan:
Ongkos bis PO Marita Kp. Rambutan - Mesjid At Ta'awun Rp. 20.000,-
Ongkos bis ATPB Ciawi - Senen Rp. 14.000,-

Referensi:
Indonesia tujuan akhir migrasi ribuan raptor Asia (Mongabay.co.id - 18 Desember 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ShareThis

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...